Berlanjutkah Perbaikan Ekonomi? Oleh : Umar Juoro Belakangan ini indikator makroekonomi menunjukkan perbaikan sebagaimana terlihat dari penguatan rupiah, penurunan inflasi, dan penurunan suku bunga. Meskipun demikian, perkiraan pertumbuhan ekonomi pada 2003 oleh beberapa lembaga multilateral, pelaku ekonomi, dan para ekonom, hanya 3,5 persen. Alasannya adalah selain konsumsi masyarakat, unsur ekonomi lainnya, seperti ekspor dan investasi, belum mengalami perbaikan berarti. Jika demikian, maka perbaikan indikator makroekonomi tersebut tidak otomatis menciptakan perbaikan pada kegiatan ekonomi riil. Perbaikan makroekonomi tidak dengan sendirinya meningkatkan kegiatan ekonomi riil. Sekalipun kredit perbankan sudah mengalami peningkatan berarti, tetapi pada umumnya perbankan masih kesulitan mendapatkan perusahaan yang dapat menyerap kredit dan dapat mengembalikan beserta bunganya. Tentu saja banyak perusahaan yang bersedia menerima kredit, tetapi pada umumnya kelayakannya masih rendah dan seringkali dana yang diperoleh untuk pembayaran utang di tempat lain (refinancing). Dengan aliran kredit yang belum optimal, bank tetap menghadapi risiko tinggi, yaitu kredit yang dialirkan akan macet karena perbaikan di sektor mikro, perusahaan, belumlah optimal. Oleh karena itu, perbankan masih cenderung mengalokasikan kredit yang sebenarnya tidak banyak menciptakan nilai tambah dalam perekonomian dan kesempatan kerja, terutama berkaitan dengan kredit konsumtif. Dengan menurunnya suku bunga, perusahaan dan perorangan yang memiliki dana besar berupaya mencari alternatif investasi di luar deposito. Belakangan ini pasar obligasi mengalami perkembangan pesat. Namun, obligasi yang paling diminati adalah obligasi yang dikeluarkan pemerintah, yang dipercaya tidak akan mengalami gagal bayar. Sedangkan obligasi korporasi yang diminati terbatas hanya pada sedikit perusahaan yang tergolong baik. Kecenderungan perkembangan pasar obligasi ini juga tidak banyak menyentuh perkembangan sektor riil dan penciptaan kesempatan kerja. Banyak perusahaan menerbitkan obligasi untuk pembayaran utang, bukan untuk perluasan kegiatan usaha. Kecenderungannya bahwa dana, baik dari pemerintah, perbankan, maupun masyarakat, masih berputar-putar di atas saja dan belum mendorong perkembangan sektor riil secara berarti. Dari data pada perekonomian 2002, dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 3,3 persen, pertumbuhan sektor manufaktur hanya 2,7 persen, dan pertanian sekira 2,5 persen. Kedua sektor ini merupakan tulang punggung sektor riil dan penampung tenaga kerja terbesar. Dengan pertumbuhan sektor tersebut yang relatif rendah, maka berarti tenaga kerja yang terserap juga rendah. Bahkan pada 2002 pengangguran terbuka meningkat dari 8 persen menjadi 9,1 persen. Jika pertumbuhan ekonomi pada 2003 hanya sekira 3--3,5 persen, maka penganguran akan meningkat lagi menjadi sekira 10 persen. Selain itu, penurunan inflasi, terutama disumbang oleh penurunan harga pangan, terutama beras produksi dalam negeri. Dengan demikian, perbaikan indikator makroekonomi berupa penurunan inflasi adalah atas beban para petani yang menerima hasil penjualan panen yang lebih rendah. Keadaan ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat bawah tidak merasakan perbaikan tersebut. Bahkan kebalikannya, taraf kehidupan mereka mengalami penurunan. Pada masa krisis ekonomi persentase penduduk yang hidup dalam kemiskinan juga menurun sangat lambat. Dalam dua tahun terakhir tingkat kemiskinan hanya turun sekira 2 persen. Hal ini berarti bahwa golongan masyarakat miskin sangat sulit untuk mempertahankan hidupnya. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi adalah berasal dari sebagian kecil masyarakat yang berpendapatan tinggi dan memiliki aset finansial yang mudah diinvestasikan dalam kegiatan ekonomi yang masih berputar di sekitar pasar uang dan belakangan pasar obligasi. Kalangan pekerja yang juga memberikan sumbangan pada konsumsi masyarakat ini adalah pekerja di sektor formal yang mengalami kenaikan upah minimun. Jumlah mereka sebenarnya juga tidak banyak bertambah, bahkan mungkin lebih sedikit, karena banyak yang dipecat dari pekerjaan, dan masuk ke sektor informal. Dengan keadaan tersebut, maka perbaikan ekonomi sebagaimana ditunjukkan oleh indikator makroekonomi dapat dikatakan belum tentu akan berlanjut. Indikator tersebut dapat kembali memburuk jika terjadi kejutan dari dalam maupun luar negeri, baik bersifat ekonomi maupun politik. Jangankan hanya perbaikan indikator makroekonomi, pengalaman sebelum krisis dengan fundamental yang relatif baik, sebagaimana ditunjukkan oleh investasi dan ekspor, tetapi karena utang yang besar, terutama di tingkat perusahaan, perekonomian Indonesia terpelanting ke resesi yang demikian dalam. Tentu saja kita bersyukur dengan perbaikan beberapa indikator makroekonomi. Namun, perbaikan ekonomi sebenarnya adalah pada sektor riil. Bagaimana pertumbuhan sektor-sektor utama ekonomi yang memberikan sumbangan besar pada PDB dan kesempatan kerja dapat tinggi? Untuk itu, kebijakan makroekonomi saja tidak memadai. Dibutuhkan kebijakan sektoral yang konsisten dan tidak ad hoc, seperti sekarang ini. Tambahan lagi, restrukturisasi di tingkat mikro, perusahaan, harus dilakukan lebih serius lagi, terutama dalam pengurangan beban utang dan fokus kegiatan usaha, bukan sekadar mempertahankan kegiatan usaha yang tidak kompetitif lagi. Hanya dengan begitu aliran kredit perbankan akan secara produktif dimanfaatkan oleh sektor riil. Selanjutnya, PMA akan mengikuti perkembangan ini. Tentunya dengan perbaikan, terutama kepastian hukum dalam berusaha.